Kisah dan Kasih KKN Internasional di Thailand Menuju Babak Baru

Suasana perkenalan Nur Agnatul Hasanah saat pertama kali datang di Anubanwangmai Sartsanasart School. (dok. pribadi)

Thailand, Educeria - Suara anak-anak sekolah memecah kesunyian pagi di Kundeesart Krabi School, sebuah sekolah dasar di Provinsi Krabi, Thailand Selatan. Di tengah hiruk-pikuk tawa dan sapaan berbahasa Thai yang terdengar asing di telinga, berdiri seorang gadis muda asal Indonesia — Meis Syifa Reillita, mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) yang datang membawa semangat belajar dan berbagi.

Meski begitu, hari pertama di negeri orang tak berjalan semulus bayangan. Lingkungan yang sepenuhnya berbahasa Thai membuat Syifa harus beradaptasi cepat. “Banyak yang unexpected, dari mulai lingkungan yang full Thai, cuma beberapa aja yang bisa English dan Melayu. Jadi komunikasi memanfaatkan kecanggihan teknologi dan isyarat,” ujarnya sambil tertawa kecil saat menceritakan pengalamannya melalui pesan whatsapp kepada Educeria.com, Rabu (12/11/2025).

Dengan jam kerja penuh dari pukul tujuh pagi hingga lima sore, Syifa mengakui tantangan terbesar bukan sekadar mengajar, melainkan membangun koneksi. Namun keramahan warga sekolah membuat semua terasa lebih ringan. “Lingkungannya ramah juga,” katanya.

Namun, di balik semangat itu, ada masa-masa ketika rasa lelah dan tekanan datang menghampiri. Teman guru satu sekolahnya sempat panik karena kesulitan dengan materi ajar, dan hal itu membuat Syifa ikut terbawa suasana. “Sempat kebawa mellow (sedih) pas dia ada kendala sama materi ajar,” kenangnya.

Tapi suasana hati itu cepat berubah setelah makan malam di rumah pemilik sekolah. “Mood langsung balik setelah makan di rumah ibu pemilik sekolah!” katanya penuh syukur.

Rindu Rumah dan Keakraban Baru

Hari kedua menjadi momen refleksi. Syifa mulai merasakan rindu rumah — sesuatu yang tak bisa dihindari siapa pun yang jauh dari keluarga. “Sejak siang mood enggak enak, terus sadar kalau lagi homesick, huehehe,” ujarnya terkekeh. Tapi rasa itu tak dibiarkan berlarut-larut. Ia memilih berinteraksi dengan warga sekolah dan menikmati setiap percakapan ringan, meski melelahkan karena jadwal mengajar penuh seharian.

“Jam ngajar full seharian ngalahin jam kerja pemerintuh Indonesia,” selorohnya diselingi tawa.

Sesampainya di homestay, kehangatan keluarga tuan rumah seakan menjadi obat rindu. Ia tinggal bersama Maknyi, pemilik homestay sekaligus ibu dari Akak Ya, anak perempuan yang juga membantu mengelola sekolah. “Akak Ya bisa bahasa Melayu dan lancar! Maknyi bisa sedikit, saya juga bisa bahasa Melayu modal nonton Upin Ipin, jadi seruuu ngobrolnya, hahahaha. Thanks to Upin Ipin!” tutur Syifa dengan semangat.

Meis Syifa Reillita saat mengajar di kelas. (dok. Pribadi)

Bagi Syifa, pengalaman KKN di Krabi bukan sekadar tentang mengajar, tetapi juga tentang memahami cara hidup, budaya, dan nilai-nilai baru. Di tengah keterbatasan bahasa dan jarak, ia belajar tentang kesabaran, komunikasi tanpa kata, dan kekuatan keramahan.

Setiap tawa, setiap makan malam sederhana, dan setiap percakapan campur aduk antara bahasa Thai, Melayu, dan isyarat menjadi bukti bahwa perbedaan bukan penghalang — melainkan jembatan untuk saling mengerti.

“Saya datang untuk mengajar, tapi justru di sini saya banyak belajar,” katanya menutup percakapan.

***

Sementara Syifa menapaki hari-harinya di Kundeesart Krabi School, di sudut lain Provinsi Krabi, seorang sahabatnya juga tengah menulis kisah yang tak kalah menarik.Ia adalah Nur Agnatul Hasanah, yang akrab disapa Agna, mahasiswa peserta KKN Internasional dari universitas yang sama. Berbeda dengan Syifa, Agna ditempatkan di Anubanwangmai Sartsanasart School, sekolah yang dikelilingi hijaunya kebun sawit dan karet.

Bagi Agna, perpisahan dengan Syifa di hari pertama bukan hal mudah. “Agak sedih karena harus pisah sama Kak Syifa, apalagi selama dua bulan. Aku khawatir Kak Syifa bakal kesulitan beradaptasi sama teman-temannya, soalnya ‘Kak Cipa’ enggak suka basa-basi,” ucapnya sambil tertawa kecil.

Namun kesedihan itu agaknya memudar oleh sambutan hangat keluarga angkatnya di Krabi. “Pas pertama kali ketemu Ama dan Ayah (orang tua angkat), nggak nyangka mereka sebaik itu. Di perjalanan kita sempat makan nasi kebuli khas Thailand, rasanya enak banget!” katanya antusias.

Enam jam perjalanan menuju rumah barunya dilalui dengan pemandangan yang tak biasa — kanan kiri hanya hutan sawit dan karet, hingga melintasi perbatasan provinsi yang dijaga tentara. “Ganteng-ganteng juga sih mereka, hahaha,” selorohnya ringan.

Sesampainya di rumah, rasa lelah langsung terbayar lunas. Rumah sederhana itu jarang ditinggali, tapi kehangatan sambutan keluarga barunya membuatnya merasa diterima. “Sampai rumah, bersih-bersih sedikit, terus langsung tidur nyenyak banget,” kenangnya.

Bahasa Isyarat dan Google Translate di Ruang Guru

Hari kedua menjadi awal adaptasi Agna di lingkungan sekolah. Pagi-pagi ia memberi sambutan dalam upacara sekolah — momen pertama tampil di depan ratusan siswa dan guru Thailand. Setelah itu, ia mengikuti briefing dan pembagian jadwal. “Kita pakai Google Translate karena guru Bahasa Inggrisnya enggak datang,” jelasnya.

Ia dan tim guru lainnya berkeliling melakukan observasi ke berbagai jenjang: dari prasekolah, SD, hingga SMP. Pagi itu, mereka disuguhi sarapan khas Thailand — ayam lada hitam dengan merica yang menurut Agna masih ‘utuh’ bentuknya. “Pedes banget!” katanya.

Setelah itu, siang hari dihabiskan dengan membereskan rumah, sementara udara dingin dari kebun sawit di belakang rumah menyergap. “Klosetnya sejajar sama lantai kamar mandi, jadi rasanya agak aneh gitu,” ungkapnya diselingi tawa. Malamnya, ia kembali ke rumah Ama dan Ayah untuk melengkapi perlengkapan yang ternyata masih kurang. Obrolan hangat tentang keluarga mereka menutup hari dengan rasa syukur.

Belajar Sopan Santun dan Bahasa Tubuh

Hari ketiga membawa pengalaman baru. Agna menyambut anak-anak di gerbang sekolah dan segera belajar bahwa di Thailand, bahkan cara menyapa pun memiliki makna mendalam.

“Cara salim di Thailand beda banget sama di Indonesia — tangan ditangkupkan di depan dada kayak posisi berdoa, terus bungkukin kepala. Biasanya habis itu mereka ngusap kedua pipi sendiri,” ujarnya kagum.

Agna ketika berpose bersama siswa. (dok. Pribadi)

Di hari yang sama, ia bertemu Mrs. Ampol, satu-satunya guru di sekolah yang lancar berbahasa Inggris. “Helpful banget, meskipun aku sempat bingung sama logatnya,” katanya sambil terkekeh. Dari perkenalan itu, ia langsung mendapat modul dan kesempatan mengajar di depan kelas.

“Anak-anaknya antusias banget, ngajarnya seru! Tapi yang paling susah tuh ngucapin dan inget nama-nama anak, susah banget!” keluhnya dengan canda. Setelah mengajar seharian, ia diajak belanja oleh guru setempat — pengalaman sederhana yang memperkenalkan bumbu dan rasa baru. “Makan bubur pakai daun ketumbar plus merica,” ungkapnya.

Namun satu hal yang paling membekas baginya bukan hanya rasa makanan, melainkan dinamika cuaca yang ekstrem. “Pagi dingin banget, jam 10 panas banget, siang hujan petir, sore panas lagi, malam hujan lagi terus dingin polll. Bener-bener rollercoaster cuaca!” katanya.

Dua Kisah, Satu Semangat

Dua mahasiswa Indonesia di dua sekolah berbeda, dipisahkan jarak namun disatukan semangat yang sama — berbagi pengetahuan dan menembus batas budaya.
Bagi Syifa dan Agna, KKN Internasional bukan hanya tentang mengajar, tapi tentang belajar bertahan, beradaptasi, dan menghargai setiap perbedaan yang mereka temui.

Di Krabi, mereka menemukan arti sederhana dari pendidikan lintas budaya: bahwa pembelajaran terbaik sering kali lahir bukan dari ruang kelas, melainkan dari perjumpaan antar manusia. (MGN)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama